Di balik setiap lembar ijazah yang diberikan kepada siswa-siswi lulusan sekolah, terselip tangan-tangan telaten yang bekerja dalam diam. Salah satunya adalah Pak Warto, lelaki paruh baya yang sudah puluhan tahun menjadi penulis ijazah di sebuah sekolah negeri. Ia bukan kepala sekolah, bukan guru terkenal, bahkan namanya jarang disebut. Namun, dari tangannya yang sabar dan huruf-huruf latin yang ditulis rapi, lahirlah dokumen yang menentukan masa depan banyak orang. Ini bukan cerita tentang jasa yang besar, melainkan tentang kesetiaan pada peran yang sering dilupakan.

Pak Warto menulis setiap nama, nomor induk, dan nilai dengan tinta hitam yang tak boleh salah. Sekali keliru, harus ulang. Tak bisa dihapus, tak bisa dikoreksi sembarangan. Di tengah era digitalisasi, ia masih mempertahankan cara lama: menulis dengan tangan. Baginya, itu bukan hanya soal tradisi, tetapi tentang kehormatan dan tanggung jawab. “Saya tidak hanya menulis ijazah, saya ikut menuliskan harapan,” begitu katanya suatu ketika. Ia tahu betul, selembar kertas itu kelak akan dibawa ke kantor, universitas, bahkan ke luar negeri. Maka setiap goresannya harus rapi, bersih, dan benar.

Namun, cerita Pak Warto tidak hanya tentang menulis. Ia juga diam-diam menjadi saksi perjalanan siswa-siswi di sekolah itu. Ia tahu siapa yang sering datang ke ruang guru karena kenakalan, siapa yang pintar namun pemalu, atau siapa yang gigih meski berasal dari keluarga sederhana. Kadang ia tersenyum sendiri saat menulis nama-nama itu di atas ijazah—karena ia tahu betapa panjang perjuangan di baliknya. Meski ia bukan bagian dari kelas atau rapat kurikulum, hatinya terikat pada setiap nama yang ia tulis. Ia bukan hanya menulis huruf, tapi mengingat manusia-manusia muda yang pernah melintasi lorong sekolah.

Kini, semakin banyak sekolah beralih ke sistem cetak komputer. Cepat, efisien, dan minim resiko salah tulis. Tapi bagi beberapa orang, seperti Pak Warto, menulis ijazah adalah seni yang nyaris punah. Ia tidak menolak teknologi, namun ia percaya bahwa beberapa hal layak dipertahankan, bukan karena tidak bisa diganti, tapi karena menyimpan nilai yang lebih dalam dari sekadar fungsi. Cerpen bahagia tentang penulis ijazah asli mungkin terdengar kecil di tengah hiruk pikuk pendidikan nasional, tapi justru dari sanalah kita diingatkan: bahwa masa depan anak-anak juga ditopang oleh tangan-tangan sunyi yang bekerja penuh cinta.